Memaksimalkan Potensi Diri

Diposting oleh hmcahyo on Minggu, 24 Oktober 2010


Banyak diantara kita yang sebenarnya mempunyai potensi luar biasa hebat dalam berbagai hal. Tapi kita sendirilah yang kerap membunuh potensi itu. Membunuhnya dengan malas yang diperturutakan. Membunuhnya dengan minder yang dibiasakan. Membunuhnya dengan perasaan tiada fasilitas yang dibiarkan. Membunuhnya dengan rasa cepat puas atas suatu prestasi kecil yang dibanggakan. Maka, biar potensi kita mencapai kilimaksnya, singkirkan semua pisau-pisau pembunuh itu...!



**

Malas memang kerap datang menghampiri. Siapapun dia, pelajar, pekerja, peribadah, penulis, pembaca, dan bahkan pemain sekalipun. Semuanya sesekali atau kerap kali, pasti akan merasakan penyakit malas. Iya, penyakit. Malas adalah penyakit yang susah dicarikan obatnya. Malas hanya bisa diobati dengan paksa. Paksalah dirimu untuk belajar, paksalah dirimu untuk beribadah, paksalah dirimu untuk bekerja, paksalah dirimu untuk berbuat baik, membaca, menulis dan lain sebagainya. Sebab kalau malas dibiarkan, maka ia akan menjadikan hidupmu tak berarti. Malas, cepat atau lambat, ia akan membunuh potentsi kemanusianmu. Malas kok dipelihara...!

Salah satu ciri pemalas, adalah banyak tidur. Ngantuk sedikit saja, sudah mau merebahkan diri. Apalagi tidur habis subuh. Itu adalah prilaku tak terpuji yang tak disukai oleh orang tua dan mertua. Orang yang pagi-pagi sudah tidur, rejekinya sudah duluan dipatok ayam. Kalau Anda berkesempatan bertemu dengan orang-orang besar, para pejabat, pengusaha, kyai, atau penulis produktif, coba Tanya mereka, berapa jam mereka tidur setiap harinya. Pasti mereka akan menjawab, tidak lebih dari empat jam sahaja.


Menunda pekerjaan, juga adalah ciri orang malas. Mau melakukan sesuatu, nanti saja. Nanti, nanti, nanti sampai akhirnya kehabisan waktu. Mau shalat, ah baru adzan. Mau berangkat ke kantor, ah masih pagi. Akhirnya, ia shalat di akhir waktu. Itupun dengan perasaan terpaksa karena mengingat shalat adalah wajib. Berangkat ke kantor, pun demikian. Ia terpaksa berangkat mepet banget dengan jam masuk kantor. Itupun ia berangkat, tidak terlambat, hanya karena takut dimarahi bos. Dan kalau bosnya tidaklah pemarah, maka ia tak akan segan-segan melambatkan diri. Dasar pemalas…!

***

Minder biasa dirasakan oleh mereka yang kurang pergaulan. Minder juga dirasakan oleh mereka yang tidak bisa melihat kelebihan dirinya. Sebagaimana minder juga selalu melanda mereka yang terlalu memuja kehebatan orang lain. Menganggap orang lain hebat, pinter, kuat, kaya dan lain sebagainya. Padahal kalau dia tahu, dia sebenarnya juga bisa hebat. Bisa pinter. Bisa kuat. Bisa kaya. Dan bisa, bisa, bisa, dan banyak bisa…! Kalau orang pinter, kenapa saya tidak? Saya harus belajar, biar saya pinter. Kalau orang kaya, kenapa saya tidak? Saya harus bekerja keras, biar saya kaya. Kalau orang kuat, kenapa saya tidak? Saya harus banyak berlatih fisik, biar saya kuat. Orang desa juga banyak yang minder. Kebanyakan mereka beranggapan bahwa yang bisa melakukan banyak hal itu, hanyalah orang kota. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Kenyataannya, orang-orang yang berhasil di kota, banyak yang berasal dari desa.

***

Banyak orang yang sadar akan potensi dirinya. Tapi ia berhenti mengembangkannya hanya karena ketiadaan fasilitas penunjang. Fasilitas kok harus ada…! Fasilitas memang penting. Itu kalau ada. Kalau gak ada, ya jangan diharuskan ada. Tidak ada fasilitas, bukan berarti harus berhenti berkarya. Seorang yang punya bakat menulis misalnya, dia tidak mau menulis karena tidak punya komputer. Begitu juga dengan seorang sales, jangan hanya karena tidak punya sepeda motor kemudian tidak mau keliling lagi. Seorang siswa yang cerdas juga demikian, jangan karena tidak bisa beli tas baru, seragam baru, dan buku paket kemudian berhenti sekolah. Pengusaha bisa berhasil, karena bermodal besar, pinjaman atau warisan, itu biasa. Tapi kalau ada seorang pengusaha bisa berhasil dengan modal seadanya, mulai dari nol, kemudian bisa berhasil, itu baru hebat.

***

Banyak orang berbakat, mempunyai potensi, talenta dan berbagai kelebihan. Dia mampu berkarya dan berprestasi. Tapi, sayang, ia keburu puas dengan prestasinya. Terlalu cepat bangga dengan karyanya. Padahal dia baru sekali berprestasi. Padahal karyanya baru sebatas karya kecil. Karenanya kemudian ia berhenti berkarya. Ia sudah enggan untuk melanjutkan mengukir prestasi. Walau sebenarnya, kalau ia mau, ia masih mampu untuk membuat karya yang lebih besar lagi. Ingat, orang pinter yang merasa pinter, maka ia akan menjadi bodoh. Sebagaimana kata Imam syafi’i: “Man zhanna annahu qad ‘alima faqad jahula = siapa yang menganggap dirinya sudah pinter, maka sebenarnya ia telah menunjukkan kebodohannya”…

******

Gambar di ambil dari sini